Minggu, 21 November 2010

Karakteristik pendidikan guru

Membangun peradaban sebuah bangsa pada hakikatnya adalah pengembangan watak dan karakter manusia unggul dari sisi intelektual, spiritual, emosional, dan fisikal yang dilandasi oleh fitrah kemanusiaan. Fitrah adalah titik tolak kemuliaan manusia, baik sebagai bawaan seseorang sejak lahir atau sebagai hasil proses pendidikan.

Nelson Black dalam bukunya yang berjudul "Kapan Sebuah Bangsa Akan Mati" menyatakan bahwa nilai-nilai akhlak, kemanusiaan, kemakmuran ekonomi, dan kekuatan budaya merupakan sederet faktor keunggulan sebuah masyarakat yang humanis. Sebaliknya, kebejatan sosial dan budaya merupakan faktor penyebab kemunduran sebuah peradaban. Ia juga menulis, “Kebejatan sosial akan tampak pada pengingkaran atas konstitusi dan instabiltas ekonomi.”

Pada Kongres Pendidikan se-Indonesia yang digelar di Yogyakarta bulan Oktober 1949, almarhum Ki Hadjar Dewantara dari Taman Siswa mengatakan bahwa "Hidup haruslah diarahkan pada kemajuan, keberadaban, budaya dan persatuan, dan kita seharusnya tidak menolak elemen-elemen yang datang dari peradaban asing. Ini adalah demi mendorong proses pertumbuhan dan pemerkayaan yang lebih lanjut bagi kehidupan nasional, dan secara mutlak untuk menaikkan kebanggaan bangsa Indonesia.

Terlepas dari persoalan kuantitatif tersebut, dalam konteks pembangunan sektor pendidikan, guru merupakan pemegang peran yang amat sentral dalam proses pendidikan. Karena itu, upaya meningkatkan profesionalisme para pendidik adalah suatu keniscayaan. Guru harus mendapatkan program-program pelatihan secara tersistem agar tetap memiliki profesionalisme yang tinggi dan siap melakukan adopsi inovasi. Guru juga harus mendapatkan penghargaan dan kesejahteraan yang layak atas pengabdian dan jasanya. Sehingga, setiap inovasi dan pembaruan dalam bidang pendidikan dapat diterima dan dijalaninya dengan baik.

Di sinilah kemudian karakteristik pendidikan guru memiliki kualitas ketika menyajikan bahan pengajaran kepada subjek didik. Kualitas seorang guru dapat diukur dari segi moralitas, bijaksana, sabar dan menguasai bahan pelajaran ketika beradaptasi dengan subjek didik. Sejumlah faktor itu membuat dirinya mampu menghadapi masalah-masalah sulit, tidak mudah frustasi, depresi atau  stress secara positif, dan tidak destruktif.

Karakteristik Pendidikan guru

Menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar Karakteristik Pendidikan guru dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.

Dalam karakter pendidikan guru penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan--sebagai basis karakter yang baik. Guru harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari. Yang terpenting, semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti.

Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika inti. Karenanya, pendekatan holistik dalam pendidikan karakter berupaya untuk mengembangkan keseluruhan aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral yang akan dipahami siswa untuk membantu menciptakan komunitas bermoral, mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan merefleksikan pengalaman hidup melalui pendekatan yang komprehensif menggunakan semua aspek persekolahan sebagai peluang untuk pengembangan karakter. Ini mencakup apa yang sering disebut dengan istilah kurikulum tersembunyi, hidden curriculum (upacara dan prosedur sekolah; keteladanan guru; hubungan siswa dengan guru, staf sekolah lainnya, dan sesama mereka sendiri; proses pengajaran; keanekaragaman siswa; penilaian pembelajaran; pengelolaan lingkungan sekolah; kebijakan disiplin); kurikulum akademik, academic curriculum (mata pelajaran inti, termasuk kurikulum kesehatan jasmani), dan program-program ekstrakurikuler, extracurricular programs (tim olahraga, klub, proyek pelayanan, dan kegiatan-kegiatan setelah jam  sekolah).

Pendidikan karakter yang efektif harus menyertakan usaha untuk menilai kemajuan. Terdapat tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian: (1) karakter sekolah: sampai sejauh mana sekolah menjadi komunitas yang lebih peduli dan saling menghargai? (2) Pertumbuhan staf sekolah sebagai pendidik karakter: sampai sejauh mana staf sekolah mengembangkan pemahaman tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk mendorong pengembangan karakter? (3) Karakter siswa: sejauh mana siswa memanifestasikan pemahaman, komitmen, dan tindakan atas nilai-nilai etis inti? Hal seperti itu dapat dilakukan di awal pelaksanaan pendidikan karakter untuk mendapatkan baseline dan diulang lagi di kemudian hari untuk menilai kemajuan.

Semoga karakteristik pendidikan guru tidak berhenti hanya wacana karena tidak termasuk dalam program 100 hari pemerintah SBY-Boediyono. Pada poin 13, reformasi di bidang pendidikan, hanya disebut: 'Menyambungkan atau mencegah mismatch antara yang dihasilkan lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan dan keperluan pasar tenaga kerja. Banyak yang dihasilkan perguruan tinggi, oleh sekolah-sekolah kejuruan, oleh balai-balai latihan kerja, tidak selalu klop dengan yang diminta pasar tenaga kerja.' Lagi-lagi hanya soal pekerjaan, lalu di mana pendidikan karakter?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar